TUMBANGNYA INCUMBENT
Oleh
Nizwan Zukhri
Ada hal menarik kalau kita perhatikan hasil pilkada pemilihan Bupati di dua Kabupaten yang ada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada bulan juli 2010 ini. ”Tumbangnya para Incumbent”. Uniknya lagi yang mengalahkan bukanlah para pendatang baru tetapi wakilnya sendiri. Pada Pilkada Kabupaten Bangka Barat Sang Incumbent Parhan Ali, berdasarkan hasil perhitungan sementara sampai kamis tanggal 8 juli 2010 kalah tipis 179 suara atas Ustd Zuhri M Syazali yang merupakan wakilnya pada pemerintahan kabupaten Bangka Barat periode 2005-2010. Di Bangka Selatan pada pilkada yang dilaksanakan pada tanggal 7 juli lalu sang Incumbent, H.Justiar Noer juga kalah dari Jamro yang selama lima tahun terakhir dengan ”Setia” mendampinginya sebagai Wakil Bupati.
Hasil ini tentunya kontras sekali dengan apa yang terjadi pada pemilihan umum kepala daerah di daerah lain pada tahun 2010 ini, dimana hasil pilkada diwarnai sejumlah kemenangan para incumbent (kepala daerah yang berkuasa). Pada Pilkada Gubernur dan Bupati di Provinsi Bengkulu yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 2010, para incumbent unggul dalam perolehan suara yaitu Agusrin M Najamudin sebagai incumbent gubernur Bengkulu, serta incumbent Bupati yaitu Bupati Kepahyang, Bupati Seluma, Bupati Kaur, Rejang Lebong, dll. Bahkan di beberapa daerah para incumbent bisa memenangkan pertarungan dengan angka diatas 90 persen, seperti pasangan Joko Widodo – FX Hadi Rudyatmo di Kota Solo Jawa Tengah. Kemenangan dengan angka yang fantastis diperoleh pasangan Herman Deru – Kholid Mawardi pada pilkada Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur Sumatera Selatan, dimana pasangan ini meraih 94,56 persen atau 373.177 suara dari total pemilih sebanyak 439.527 orang. Perolehan angka yang fantastis ini akhirnya mendapat apresiasi dari Museum Rekor Indonesia (MURI) tercatat sebagai angka yang paling tinggi sejak dilaksanakannya pilkada langsung di Indonesia di era reformasi ini.
Ada beberapa hal yang menyebabkan para incumbent bisa mendulang suara dengan angka yang signifikan, yang pertama selama menjabat sebagai kepala daerah baik itu sebagai Gubernur, Bupati ataupun Walikota adalah dengan membangun kepercayaan rakyat, jangan pernah menyakiti hati rakyat. Artinya program-program yang dijalankan hendaknya bersentuhan langsung dengan apa yang dibutuhkan masyarakat, seperti bidang ekonomi kerakyatan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Yang kedua, dengan jabatannya sebagai gubernur, Bupati atau walikota menyebabkan tingkat popularitas harusnya lebih baik dibandingkan dengan calon-calon lainnya karena tingkat mobilitas untuk menemui rakyat lebih tinggi. Selama menjabat hendaknya peluang untuk melakukan hal tersebut harus benar-benar dimanfaatkan. Waktu lima tahun adalah waktu yang lebih dari cukup untuk mendapatkan simpati rakyat
Lalu, Fenomena apa yang terjadi di Babel, dimana para incumbent bisa kalah?
Secara garis besar dapat kita katakan bahwa para Incumbent khususnya di Kabupaten Bangka Barat dan Kabupaten Bangka Selatan selama masa kepemimpinannya menjabat sebagai Bupati belum sepenuhnya menjalankan program-program yang dapat meraih simpati rakyat. Hati rakyat tidak dapat diraih hanya pada saat kampanye atau saat-saat menjelang pilkada. Kesempatan untuk meraih simpati rakyat justru lebih dimanfaatkan para wakil Bupati yaitu Ust Zuhri di Kabupaten Bangka Barat, dan Jamro di Kabupaten Bangka Selatan
Jangan terlena oleh banyaknya Jumlah partai pengusung, karena hal ini bukanlah suatu jaminan untuk memenangkan pertarungan. Pada Pilkada kepala daerah, kompetensi pribadi yang dilihat dari kepemimpinan, watak, dan intelektual justru lebih menentukan. Kenyataan menunjukkan bahwa pada pilkada di Bangka Selatan, pasangan Justiar Noer – Umar Mansur yang didukung oleh PAN, PPP, Hanura, Demokrat, PBB, Gerindra serta 14 partai lainnya tak berdaya menghadapi Jamro – Nursyamsu yang hanya didukung oleh 2 partai yaitu PDIP dan PKS. Kondisi yang tidak terlalu berbeda juga terjadi pada pilkada Bangka Barat
Apakah trend ini juga akan berlanjut pada pilkada Kabupaten Bangka Tengah yang akan dilaksanakan pada akhir Juli 2010 ini, dimana sang Incumbent Abu Hanifah akan ditantang oleh wakilnya sendiri Erzaldi Rosman, kita tunggu saja...........................
Artikel diterbitkan juga dalam opini Babel Pos
Senin, 12 juli 2010
Senin, 12 Juli 2010
Jumat, 14 Mei 2010
MAHASISWA, PERGURUAN TINGGI, DAN REFORMASI
MAHASISWA, PERGURUAN TINGGI DAN REFORMASI
Oleh:
Nizwan Zukhri
Dosen Fakultas Ekonomi UBB
Tanggal 12 Mei 2010 ini genap sudah 12 tahun peringatan tragedi trisakti, yaitu peristiwa penembakan mahasiswa saat melakukan demonstrasi menuntut lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden yang sudah diembannya selama 32 tahun. Pada peristiwa yang telah menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, yang kemudian dikenal sebagai ”Pahlawan reformasi”, merupakan babak baru sejarah perjalanan kehidupan negara Indonesia yang dikenal dengan Era Reformasi. Era yang diharapkan dapat memberikan harapan baru, semangat baru, era yang diharapkan akan terjadinya pemerintahan yang bersih, yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, era yang diharapkan dapat memberikan kedamaian, memberikan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh anak negeri.
Saat ini, era Reformasi sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, selama kurun waktu tersebut perjalanan menuju kearah sebagaimana yang menjadi tujuan awal reformasi seakan-alan kehilangan arah, kedamaian semakin menjauh, hal ini dapat terlihat dengan kerap terjadinya berbagai bentuk benturan baik fisik maupun non fisik di Indonesia yang katanya dikenal dengan penduduknya yang sopan dan ramah. Perang antar suku, perang antar desa, bahkan pertikaian antar daerahpun masih sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Degradasi moral yang ditandai dengan semakin mewabahnya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) melanda hampir disetiap lembaga khususnya lembaga pemerintah seperti kasus Bank Century, kasus makelar pajak yang telah menyeret banyak pejabat diberbagai institusi termasuk di Direktorat jenderal pajak, kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain menjadi bukti nyata yang dapat dilihat dengan mata telanjang betapa bobroknya pengelolaan negeri ini.
Saat ini kehidupan masyarakat semakin materialistis serta lebih mengutamakan perjuangan untuk kepentingan individu dan kelompok yang semakin menempatkan rakyat dan bangsa Indonesia pada suatu status kehidupan yang sangat rendah. Secara obyektif kita sedang menjadi bangsa yang inferior jika dibandingkan dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara-negara lain di dunia. Rasa bangga sebagai anak negeri dari sebuah negara yang dulunya cukup disegani didunia telah terkikis oleh krisis multidimensional dan kebobrokan kehidupan mental dan moral yang menyeruak dihampir setiap sendi kehidupan. Rasa nasionalisme sebagai bangsa dan jiwa patriotisme seakan sudah semakin memudar sehingga status quo Orde Baru terkesan tidak berubah, bahkan terlihat semakin bertahan atau bisa jadi semakin parah yang disebabkan oleh keserakahan dan gaya kehidupan yang hanya ingat diri, ingat keluarga dan ingat kelompok.
Reformasi seakan berjalan semakin menjauh dari tujuan yang telah didengungkan sekitar 12 tahun lalu, ego kedaerahan semakin muncul kepermukaan dengan membonceng suatu kereta yang bernama otonomi daerah. Raja-raja kecil muncul di segenap wilayah Indonesia. Kekuasaan dan kepemimpinan di berbagai daerah seakan-akan menjadi milik dinasti keluarga yang ditandai dengan banyaknya istri atau anak para Gubernur, Bupati ataupun Walikota yang dengan berbagai upaya berusaha merebut jabatan sebagai kepala daerah untuk menggantikan suami atau ayahnya. Partai-partai politik sibuk mengurus kekuasaan dan telah melupakan tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat. Barangkali ada baiknya kita menentukan atau merumuskan kembali jati diri kita sebagai bangsa, sumpah Pemuda yang dicetuskan 82 tahun yang lalu ada baiknya dikaji kembali, apakah masih relevankah saat ini.
Reformasi yang awalnya memang milik mahasiswa, yang lahir sebagai salah satu hasil pembelajaran diperguruan tinggi sekarang telah dikudeta oleh Elit Politik. Namun itu semua tidak sepenuhnya kesalahan elit. Tetapi justru mahasiswa dan institusinya yaitu perguruan tinggi juga mempunyai andil terhadap kesalahan tersebut, karena belum sepenuhnya berhasil menciptakan insan-insan kampus, kader-kader intelektual yang mampu mengejahwantakan apa yang sebenarnya diperlukan oleh negeri ini.
Perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran, sebagai tempat penggodokan para intelektual, bukan hanya dituntut untuk mampu mengelolah input atau mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang hanya tangguh secara akademik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menghasilkan lulusan sebagai insan yang berpotensi tinggi, inisiatif dan kreatif serta penuh dedikasi atau sumber daya manusia yang unggul, profesional, beriman dan berwibawa, mampu memimpin serta berwawasan kedepan. Perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswanya menjadi insan yang peka terhadap persoalan-persoalan yang membelit bangsanya.
Kematangan sebuah Perguruan Tinggi bukanlah dilihat dari usianya, tetapi harus dilihat dari kesanggupan untuk bisa memenuhi dan mewujudkan secara nyata tanggung jawab kelembagaan kepada masyarakat. Akreditasi yang baik bukan hanya ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, tetapi juga ditentukan oleh publik atau yang lebih dikenal dengan Akuntability Publik. Perguruan tinggi harus mampu menjadi lembaga penyelenggaraan pendidikan tinggi yang sanggup mengantarkan lulusannya memiliki kemampuan untuk dapat diterima dan berkiprah ditengah masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran dalam suatu perguruan tinggi diperlukan pengelolah yang mampu mengelolah input yang ada menjadi output yang memang bisa diandalkan. Menurut Freire, para akademisi yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi tidak bisa melepaskan diri dari 3 hal: (1) memahami relasi antara pendidikan tinggi, kekuasaan dan politik, (2) mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, ini penting karena tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang semestinya harus menjadi keprihatinannya, (3) menyadari kemampuan kelas dominan mempopulerkan kata-kata yang sering menjadi slogan kelompok revolusioner.
Sejarah pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru, dari orde baru ke era reformasi menunjukkan peran sentral mahasiswa sebagai agen perubahan. Oleh karena itu mahasiswa dan perguruan tinggi dengan idealismenya harus terus berusaha untuk mengawal reformasi. Supaya apa yang menjadi tujuan semula dari reformasi ini dapat kembali berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, sehingga pengorbanan para mahasiswa yang tewas dalam tragedi trisakti tidak menjadi sia-sia.
Oleh:
Nizwan Zukhri
Dosen Fakultas Ekonomi UBB
Tanggal 12 Mei 2010 ini genap sudah 12 tahun peringatan tragedi trisakti, yaitu peristiwa penembakan mahasiswa saat melakukan demonstrasi menuntut lengsernya Soeharto dari jabatannya sebagai presiden yang sudah diembannya selama 32 tahun. Pada peristiwa yang telah menewaskan 4 orang mahasiswa Universitas Trisakti yaitu Elang Mulya Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan dan Hendriawan Sie, yang kemudian dikenal sebagai ”Pahlawan reformasi”, merupakan babak baru sejarah perjalanan kehidupan negara Indonesia yang dikenal dengan Era Reformasi. Era yang diharapkan dapat memberikan harapan baru, semangat baru, era yang diharapkan akan terjadinya pemerintahan yang bersih, yang bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, era yang diharapkan dapat memberikan kedamaian, memberikan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran bagi seluruh anak negeri.
Saat ini, era Reformasi sudah berlangsung lebih dari satu dasawarsa, selama kurun waktu tersebut perjalanan menuju kearah sebagaimana yang menjadi tujuan awal reformasi seakan-alan kehilangan arah, kedamaian semakin menjauh, hal ini dapat terlihat dengan kerap terjadinya berbagai bentuk benturan baik fisik maupun non fisik di Indonesia yang katanya dikenal dengan penduduknya yang sopan dan ramah. Perang antar suku, perang antar desa, bahkan pertikaian antar daerahpun masih sering terjadi diberbagai daerah di Indonesia yang tidak jarang berakhir dengan kerusuhan berdarah. Degradasi moral yang ditandai dengan semakin mewabahnya penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) melanda hampir disetiap lembaga khususnya lembaga pemerintah seperti kasus Bank Century, kasus makelar pajak yang telah menyeret banyak pejabat diberbagai institusi termasuk di Direktorat jenderal pajak, kepolisian, kejaksaan, dan lain-lain menjadi bukti nyata yang dapat dilihat dengan mata telanjang betapa bobroknya pengelolaan negeri ini.
Saat ini kehidupan masyarakat semakin materialistis serta lebih mengutamakan perjuangan untuk kepentingan individu dan kelompok yang semakin menempatkan rakyat dan bangsa Indonesia pada suatu status kehidupan yang sangat rendah. Secara obyektif kita sedang menjadi bangsa yang inferior jika dibandingkan dengan tingkat kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura atau negara-negara lain di dunia. Rasa bangga sebagai anak negeri dari sebuah negara yang dulunya cukup disegani didunia telah terkikis oleh krisis multidimensional dan kebobrokan kehidupan mental dan moral yang menyeruak dihampir setiap sendi kehidupan. Rasa nasionalisme sebagai bangsa dan jiwa patriotisme seakan sudah semakin memudar sehingga status quo Orde Baru terkesan tidak berubah, bahkan terlihat semakin bertahan atau bisa jadi semakin parah yang disebabkan oleh keserakahan dan gaya kehidupan yang hanya ingat diri, ingat keluarga dan ingat kelompok.
Reformasi seakan berjalan semakin menjauh dari tujuan yang telah didengungkan sekitar 12 tahun lalu, ego kedaerahan semakin muncul kepermukaan dengan membonceng suatu kereta yang bernama otonomi daerah. Raja-raja kecil muncul di segenap wilayah Indonesia. Kekuasaan dan kepemimpinan di berbagai daerah seakan-akan menjadi milik dinasti keluarga yang ditandai dengan banyaknya istri atau anak para Gubernur, Bupati ataupun Walikota yang dengan berbagai upaya berusaha merebut jabatan sebagai kepala daerah untuk menggantikan suami atau ayahnya. Partai-partai politik sibuk mengurus kekuasaan dan telah melupakan tujuan utamanya untuk mensejahterakan masyarakat. Barangkali ada baiknya kita menentukan atau merumuskan kembali jati diri kita sebagai bangsa, sumpah Pemuda yang dicetuskan 82 tahun yang lalu ada baiknya dikaji kembali, apakah masih relevankah saat ini.
Reformasi yang awalnya memang milik mahasiswa, yang lahir sebagai salah satu hasil pembelajaran diperguruan tinggi sekarang telah dikudeta oleh Elit Politik. Namun itu semua tidak sepenuhnya kesalahan elit. Tetapi justru mahasiswa dan institusinya yaitu perguruan tinggi juga mempunyai andil terhadap kesalahan tersebut, karena belum sepenuhnya berhasil menciptakan insan-insan kampus, kader-kader intelektual yang mampu mengejahwantakan apa yang sebenarnya diperlukan oleh negeri ini.
Perguruan tinggi sebagai wadah pembelajaran, sebagai tempat penggodokan para intelektual, bukan hanya dituntut untuk mampu mengelolah input atau mahasiswa yang ada menjadi lulusan yang hanya tangguh secara akademik, tetapi yang lebih penting dari itu adalah menghasilkan lulusan sebagai insan yang berpotensi tinggi, inisiatif dan kreatif serta penuh dedikasi atau sumber daya manusia yang unggul, profesional, beriman dan berwibawa, mampu memimpin serta berwawasan kedepan. Perguruan tinggi harus mampu membimbing mahasiswanya menjadi insan yang peka terhadap persoalan-persoalan yang membelit bangsanya.
Kematangan sebuah Perguruan Tinggi bukanlah dilihat dari usianya, tetapi harus dilihat dari kesanggupan untuk bisa memenuhi dan mewujudkan secara nyata tanggung jawab kelembagaan kepada masyarakat. Akreditasi yang baik bukan hanya ditentukan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi, tetapi juga ditentukan oleh publik atau yang lebih dikenal dengan Akuntability Publik. Perguruan tinggi harus mampu menjadi lembaga penyelenggaraan pendidikan tinggi yang sanggup mengantarkan lulusannya memiliki kemampuan untuk dapat diterima dan berkiprah ditengah masyarakat.
Dalam penyelenggaraan pendidikan atau pembelajaran dalam suatu perguruan tinggi diperlukan pengelolah yang mampu mengelolah input yang ada menjadi output yang memang bisa diandalkan. Menurut Freire, para akademisi yang bekerja di lembaga pendidikan tinggi tidak bisa melepaskan diri dari 3 hal: (1) memahami relasi antara pendidikan tinggi, kekuasaan dan politik, (2) mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, ini penting karena tanpa mengaitkan kurikulum dengan realitas sosial, dunia pendidikan tinggi akan tetap menjadi suatu komunitas yang terlepas dari persoalan masyarakat yang semestinya harus menjadi keprihatinannya, (3) menyadari kemampuan kelas dominan mempopulerkan kata-kata yang sering menjadi slogan kelompok revolusioner.
Sejarah pergantian pemerintahan dari orde lama ke orde baru, dari orde baru ke era reformasi menunjukkan peran sentral mahasiswa sebagai agen perubahan. Oleh karena itu mahasiswa dan perguruan tinggi dengan idealismenya harus terus berusaha untuk mengawal reformasi. Supaya apa yang menjadi tujuan semula dari reformasi ini dapat kembali berjalan sesuai dengan yang dicita-citakan, sehingga pengorbanan para mahasiswa yang tewas dalam tragedi trisakti tidak menjadi sia-sia.
Langganan:
Postingan (Atom)